Salam Sejahtera! Terima kasih atas kesediaannya membaca tulisan ini. Mohon maaf karena saya menyertakan catatan di awal tulisan ini, karena saya takut terjadi kesalah pahaman ketika membaca tulisan ini. Sebetulnya tulisan ini hanyalah curahan hati saya beberapa hari setelah saya lulus dari SMA, yang tentu saja saya yakin pasti tidak sempurna dan berpandangan sempit, serta penuh dengan hal ambigu yang bisa menimbulkan kesalah pahaman. Karena itu, saya minta kepada pembaca, siapapun Anda, untuk tidak tersinggung, ataupun marah atas tulisan ini. Juga, jangan terlalu cepat menyimpulkan dari tulisan ini, karena saya menulis tulisan ini dengan emosi, yang saya yakin mengakibatkan sebagian dari tulisan ini berbau penyesalan atau menyalahkan. Padahal tidak selalu demikian.
Pertama-tama, yang ingin saya ucapkan adalah saya sangat menyesali 3 tahun saya bersekolah di Dempo. Bukan karena sekolahnya yang jelek atau pengajar yang tidak memuaskan. Tetapi, saat ini saya merasa sangat kecewa dengan apa yang telah saya alami selama 3 tahun ini, terutama berhubungan dengan prestasi saya. BErikut adalah daftar penyesalan saya, dengan dua penyebab utama.
-Saya gagal memanfaatkan peluang 2 kali mengikuti Olimpiade Sains Nasional untuk meraih medali.
-Selama saya bersekolah, saya tidak sekali pun mampu mempersembahkan piala juara 1 dalam perlombaan basket kepada sekolah.
Perasaan ini muncul ketika mendekati camp perpisahan tim basket, tanggal 8 sampai 10 Juli 2009. Karena suatu masalah, saya mempertanyakan kenapa tiba-tiba para murid kelas 3 putra (yang baru lulus pada waktu itu)yang mengikuti camp pada waktu itu ditarik biaya lebih banyak dari peserta kelas 3 putri. Ya, sesaat kemudian saya sadar kalau ternyata penyebabnya sangat jelas. Juga teman saya yang saya protes waktu itu mengatakan hal yang sama. Yaitu,”Kan’ tim putri sudah menyumbang banyak kepada kas tim.” Jleb. Saya menangis waktu menyadari hal ini, ketika membaca sebuah komik basket. Di situ diceritakan sekelompok murid kelas 1 dan 2 sedang berusaha memenangkan pertandingan, dan secara tidak mengejutkan mereka kalah, walaupun hanya kalah tipis. Mereka berkata dengan semangat, “Lain kali menang ya!” Saat itu saya menyadari bahwa dunia basket SMA saya sudah berakhir! Saya sudah tidak bisa berkata “Lain kali menang ya!”
Begitu menyedihkan, begitu mengerikan. Begitu besar yang telah saya korbankan. Tak terhitung keringat yang sudah menetes di lapangan itu. Mungkin sedikit tulisan pada album foto “DBC” di profil Facebook saya sudah mewakili ini. Saya tidak yakin ada teman seangkatan saya yang berlatih lebih rajin daripada saya. Bahkan di seluruh Malang, saya yakin tidak semua atlet bisa berlatih sekeras saya jika mereka berada dengan keadaan yang sama dengan saya. Tapi apa yang akhirnya saya dapatkan? Tidak ada satu pun piala juara satu di tingkat kota malang! Tidak pula tim putra kami menang di dua edisi DBL yang sudah saya ikuti. Persentase kemenangan kurang dari 50%. Sungguh malang! Tidak ada yang tersisa. Bahkan ketika saya menulis tulisan ini, saya merasa belum ada sepersepuluh penderitaan batin saya tersampaikan. Sakit sekali rasanya. Ketika mengingat kata-kata teman saya,”Kan tim putri sudah menyumbang banyak.”
Kata-kata itu, (walalupun saya yakin tidak ditujukan demikian) bagaikan hinaan terhina yang pernah saya terima. Ternyata usaha saya yang sangat amat keras itu sia-sia. APa yang tersisa bagi saya? Adakah hal yang saya dapat? Hampir tidak ada. Sertifikat peserta yang ada itu tidak ada harganya sama sekali. Sertifikat peserta POPDA juga tak berhasil saya raih. Tak ada foto memori sama sekali ketika saya dengan bangga mengenakan seragam sekolah dan bermain sekuat tenaga. Dan hampir semua berakhir pada kekalahan!
Yang lebih menyedihkan, ini ternyata menghasilkan efek domino. Seandainya saya tidak mengikuti ekstra basket hingga 3 kali tiap minggu (dan tiap hari jika liburan), mungkin saya sudah sempat berlibur ke Madrid untuk mengikuti olimpiade tingkat internasional. Sekarang? Peringkat 1 pararel saja tidak pernah. NUN tertinggi bukan, bahkan profil saya masuk ke majalah sekolah hanya dua baris lebih sedikit. Apa ini?
Yang terutama, saya seharusnya sudah sadar ketika gagal di OSN yang pertama. Jika saya sudah berhenti waktu itu, mungkin tahun depannya saya sudah mencicipi medali , paling tidak medali perunggu OSN. Ditambah lagi, saya merasa sangat sangat menyesal karena sebenarnya kesempatan saya lebih baik daripada peserta yang lain. Saya sudah mendapatkan pembimbing yang bagus ketika masih kelas 1. Sumberdaya yang luar biasa sudah tersedia. Bahkan dari OSN yang pertama, saya sudah memiliki koleksi dan koneksi yang luar biasa. Bandingkan dengan Billy, murid OSN biologi,yang menjadi teman saya ketika bersama mengikuti OSN (yang ketika itu merupakan yang kedua bagi saya dan pertama bagi dia). Dia baru mendapatkan guru khusus pada waktu kelas 2. Jika dia sudah mendapat guru khusus sejak kelas 1 mungkin prestasinya sudah melebihi saya. Yang juga membuat saya lebih menyesal, saya dapat kesempatan yang tidak semua orang dapat. Salah seorang teman saya yang mengikuti OSN tahun kedua(dan pertama bagi dia) tidak dapat mengikuti OSN tahun sebelumnya hanya karena “diremehkan” guru. Sungguh saya merasa telah menyia-nyiakan kesempatan yang didapat seseorang maksimal 3 kali itu. Saya gagal pada dua kesempatan. Saya gagal!
Memang, faktor kesalahan saya bukan pada mengikuti basket atau apapun,tetapi pada pemikiran saya yang sangat amat bangga, bahwa saya mampu mengikuti lomba di berbagai bidang. Saya tidak berpikir lebih jauh untuk “berprestasi secara luar biasa”. AKhirnya saya memang mampu, dan berprestasi sedikit. Namun, saya amat tidak puas dengan itu. Bahkan, jauh lebih saya sayangkan, saya sadari saya telah banyak mengorbankan diri saya yang sebelumnya menjadi aktivis gereja. Juga, sampai pada saat saya menulis tulisan ini, saya belum pernah berpacaran. Dan, masih banyak mungkin-mungkin yang lain. Yah. Jika terus diteruskan seperti ini, pada akhirnya ini hanyalah sebuah keluhan.
Akhir kata, saya memiliki banyak pesan bagi pembaca. Jika pembaca adalah seorang atlet, apalagi atlet basket, saya mendorong Anda untuk tidak ragu mengorbankan banyak hal jika Anda merasa yakin denga olahraga yang Anda pilih. Saya tidak benar-benar fokus dengan yang telah saya lakukan, saya tidak dapat berlatih lebih lagi dalam basket karena saya masih memberati pelajaran saya. Bahkan, saya tidak mampu menyemangati teman-teman saya untuk menjadi pemenang dengan membari contoh hidup. Bagi pembaca yang adalah pemilik otak brilian yang mengikuti lomba akademik, jangan terlalu berpikir Anda bisa melakukan semuanya. Tidak semua orang mampu melakukan hal demikian. Dulu, saya berpikir saya mampu menjadi pemenang lomba akademik dan lomba basket. Ternyata, saya bukan salah satu dari sedikit orang yang mampu. Anda jangan terlalu yakin, karena saya dulu 100% yakin dan sekarang saya membuktikan saya 100% salah. Kemudian,siapapun Anda, juga jangan terlalu puas dengan yang Anda capai. Ada saat sementara Anda boleh puas, yaitu saat Anda telah mencapai target jangka pendek Anda. Tapi ingat! Masih ada target yang lebih besar! Jangan puas menjadi peserta! Jadilah pemenang!
Sebagai tambahan, ternyata ada satu hal yang sangat berharga yang saya dapatkan dari hal-hal di atas. Sesuatu yang disebut “kerja keras yang diberkahi”. Saya menyadari bahwa saya bukanlah seseorang yang diberkahi dengan bakat basket yang luar biasa. Dengan kerja keras dan kasih karuniaNya, saya telah dapat berdiri mendekati para peserta POPDA. Ini sebenarnya adalah hal yang sangat luar biasa, mengingat saya bukan pemain inti ketika SMP. Bahkan di akhir masa SMA saya, saya merasa telah mencapai standar basket yang benar-benar tak pernah saya pikirkan. JUga dengan Olimpiade saya. Walaupun belajar dengan waktu yang terbatas, saya mampu mencapai tingkatan yang sebenarnya luar biasa. Diantara jutaan pelajar di Indonesia, saya termasuk 100 besar orang yang sempat mencicipi atmosfir olimpiade matematika nasional. Meskipun hasilnya kurang maksimal, saya tetap puas karena sebenarnya saya telah menjalani proses yang hampir maksimal. Seandainya saya mampu lebih fokus , tentu hasilnya akan lebih memuaskan. Tapi semua tinggal sejarah. Bukan saya tidak menyesal. Yakinlah, tulisan ini belum menampung sampai sepersepuluh penyesalan saya. Namun saya berpikir tak ada gunanya menyesali ini lebih lanjut. Saya telah belajar dari semua pengalaman ini. Maka, waktunya bagi saya untuk bergerak kembali. Demikian pula saya harap tulisan ini dapat menyemangati saudara.
*bagi pembaca yang merasa perlu bertanya mengenai tulisan ini dapat menghubungi saya secara langsung dengan berbagai cara. Perlu diperhatikan pula saya telah berusaha membuat tulisan ini sesederhana mungkin berdasarkan prinsip KISS, dan mungkin telah menghilangkan banyak detail. Maka bagi pembaca yang menemukan hal-hal yang membutuhkan penjelasan khusus, saya juga memberi ruang. Terima kasih telah membaca tulisan ini!
Rabu, 08 Juli 2009
Mungkin saya terlalu gagal.....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
bro!
kan setidaknya qta pernah "jatuh" dari tempat "lebih tingi" daripada kebanyakan teman qta. if we getting up again, it proves that we are stronger than them! we are incredible, and YOU are NOT miserable...ok? BE PROUD OF IT!
RBN.
nice writing nes...
u know your ways are not GOD ways, and neither your plan..
let me give some advices, try to change the angel of view. try think what people think about you..
u're in the top bro.. u have hardwork that many of people (me to) need it. just proud to be urself bro..
be honest u make me so jealous when i read ur writing bro.. i never remember when i made my parent proud if i won the physics competion.. or when i quit DBC, because i'm an easily-bored person.
Posting Komentar